Sejarah & Perubahan Paradigma Perkembangan Ilmu Geodesi
Oleh : Syahrial (38224)
Sejak
zaman dahulu, Ilmu Geodesi digunakan oleh manusia untuk keperluan navigasi.
Secara signifikan, kegiatan pemetaan bumi sebagai bidang ilmu Geodesi telah
dimulai sejak banjir sungai nil (2000 SM) oleh kerajaan Mesir Kuno.
Perkembangan Geodesi yang lebih signifikan lagi pada saat manusia mempelajari
bentuk bumi & ukuran bumi lebih dalam oleh tokoh Yunani, Erastotenes yang
dikenal sebagai bapak geodesi.
Pada abad 18 pengetahuan tentang
pendalaman pulau jawa sangat kurang, terlebih daerah diluar Jawa. Pada saat
pemerintahan Gouverneur General Daendels, diletakan dasar untuk pengukuran di
pulau jawa. Pada tahun 1809 diangkat juru-juru ukur yang diambil sumpah untuk
mengisi personil dalam organisasi “Biro Zeni” dalam gerakan-gerakan militer.
Semua pejabat militer dan sipil mendapat instruksi untuk mengadakan pengukuran
dan pemetaan, terutama kepada para perwira Zeni diberi tugas pengukuran
dan waterpassing dengan menggunakan peta-peta laut
sebagai dasar pembuatan peta.
Setelah
selesai peperangan di Jawa (Perang diponegoro tahun 1825-1830) timbul kebutuhan
yang meningkat akan kebutuhan data geografi dan peta topografi yang lebih
lengkap dari wilayah Hindia Belanda terutama ditujukan untuk pembuatan peta
pertahanan Pulau Jawa. Pada awal abad ke-19 di Eropa terdapat anggapan bahwa
pekerjaan pengukuran triangulasi harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
dilakukan pekerjaan pemetaan. Anggapan ini baru dianut di Indonesia pada akhir
abad ke-19, walaupun antara tahun 1839 hingga tahun 1848 Junghuhn telah membuat
triangulasi pertama di Indonesia yang dijadikan dasar untuk pengukuran dan
pemetaan di Pulau Jawa. Dari hasil pengukuran yang dilakukan dapat dihasilkan
tiga peta dengan skala peta yang bervariasi. Peta-peta buatan Junghuhn tersebut
tidak pernah dicetak, sebab disusul oleh pembuatan peta dengan skala 1 : 70 000
oleh Vander Welde tahun 1845, dan peta buatan Leclerq pada tahun 1850 dengan
skala peta 1 : 100 000.
Pada tahun 1864 dibentuk Topografisch
Bureau en der Militaire Verkeuningen di bawah kesatuan Zeni dengan
tugas pengukuran topografi di Pulau Jawa. Pada tahun 1874 Bureau ini
dialihkan menjadi Topografische Dients (Dinas Topografi) di
bawah staf umum angkatan darat, pada tahun 1907 dipisahkan lagi dari staf umum
untuk menjadi bagian yang berdiri sendiri yang dikenal dengan nama “IXde
Afdeeling van let Department van Oorlog” (Afdeeling ke-9 dari departemen
peperangan) atau lazim disebut dinas topografi militer.
Pada tahun 1883 dibentuk brigade
triangulasi sebagai bagian dari dinas topografi militer untuk meneruskan
pekerjaan triangulasi di pulau Sumatera dan pulau-pulau lainnya. Brigade ini
dipimpin oleh Dr. J.J.A Mueller. Sejak tahun 1913 Brigade dipimpin oleh Prof.
Ir. J.H.G. Schepers dan diserahi tugas survey geodesi untuk seluruh Kepulauan
Indonesia (triangulasi, pengamatan astronomi, sipat datar teliti di Jawa ).
Menjelang pecahnya perang Dunia II, pimpinan Brigade Triangulasi adalah Prof.
Ir. P.H. Poldevaart, sehingga praktis pimpinan dan staf Brigade ini (merupakan
bagian terpenting pada dinas topografi militer) adalah sarjana-sarjana yang
berstatus pegawai sipil (burgelijk ambtenaar). Selama perang Dunia II
dimana pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada tentara Jepang.
KantorTopographische Dients dipindahkan dari Jakarta ke Bandung
dengan nama kantor diubah menjadi Sokuryo Kyoku yang berarti
kantor pengukuran.
Pada tanggal 28 September 1945 setelah
Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, Sokuryo Kyoku direbut
dari tangan Jepang, dan diubah namanya menjadi Jawatan Topografi Republik
Indonesia dipimpin oleh Ir. Soetomo Wongsotjitro (kemudian dikenal sebagai Guru
Besar pada bagian geodesi, Fak. Teknik Universitas Indonesia) yang bernaung
dibawah Kementrian Pertahanan. Hal ini ditetapkan dengan ketetapan pemerintah
Republik Indonesia No. 46 tanggal 26 April 1946, kedudukan Jawatan ini bermula
ada di Malang kemudian pindah ke Solo pada tahun 1947, dan akhirnya pindah ke
Yogyakarta pada tahun 1949. Berdasrkan surat keputusan KASAD No.
Skep/691/VII/1986, tanggal 26 April 1946 ditetapkan sebagai hari lahir Corp
Topografi TNI-AD.
Pada
tahun 1964 pemerintah Indonesia mengadakan pekerjaan survey dan pemetaan yang
berhubungan dengan wilayah kekuasaan negara, yaitu dalam penertiban tapal batas
internasional antara Irian Barat dengan Papua Nugini. Pada tahun 1966 dan 1967
dilaksanakan Expedisi Cendrawasih – II, yaitu pekerjaan mencari dan menandai
meridian seperti yang disebutkan dalam perjanjian tapal batas antara delegasi
Indonesia dengan Australia. Tim Indonesia terdiri atas unsur Dinas Geodesi dari
Topografi AD yang dipimpin oleh Kolonel CZI Ir Pranoto Asmoro, dan ITB dibawah
pimpinan Dr –Ing, Ir. J. Soenarjo. Batas wilayah Indonesia ini ditandai dengan
14 tugu perbatasan berupa piramida terpancung tinggi 160 cm memanjang dari
utara ke selatan sampai Fly River pada meridian 1410 00’ 00” BT
dab dari Fly River ke selatan pada posisi 1410 01’ 01” BT.
Perubahan paradigma Ilmu Geodesi
Penemuan teleskop, theodolit dan perkembangan
tabel logaritma digunakan sebagai sarana pengukuran dan perhitungan triangulasi.
Jean Picard adalah pertama kali yang melakukan pengukuran lebih modern. Ia mengukur panjangan/jarak dengan bantuan batang kayu (the aid of wooden rods), menggunakan teleskop dalam pengukuran sudut, dan menghitung dengan logaritma. Jacques Cassini kemudian melanjutkan Picard ke utara sampai Dunkirk dan ke selatan sampai perbatasan Spanyol. Cassini membagi dua bagian/tahap pengukuran, satu ke utara dari Paris, yang lain ke selatan. Ketika dihitung panjangan dari kedua bagian/tahap tersebut, Dia mendapatkan bahwa terdapat perbedaan panjangan dari keduanya. Bagian utara lebih pendek daripada di bagian selatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bumi tidaklah seutuhnya bulat.
Jean Picard adalah pertama kali yang melakukan pengukuran lebih modern. Ia mengukur panjangan/jarak dengan bantuan batang kayu (the aid of wooden rods), menggunakan teleskop dalam pengukuran sudut, dan menghitung dengan logaritma. Jacques Cassini kemudian melanjutkan Picard ke utara sampai Dunkirk dan ke selatan sampai perbatasan Spanyol. Cassini membagi dua bagian/tahap pengukuran, satu ke utara dari Paris, yang lain ke selatan. Ketika dihitung panjangan dari kedua bagian/tahap tersebut, Dia mendapatkan bahwa terdapat perbedaan panjangan dari keduanya. Bagian utara lebih pendek daripada di bagian selatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bumi tidaklah seutuhnya bulat.
Dari pernyataan itulah paradigma ilmu kegeodesian
mulai berubah. Dalam dunia filsafat perubahan dibagi menjadi dua macam, yakni
perubahan secara menyeluruh dan perubahan sebagian. Pernyataan bahwa bumi tidak
seutuhnya berbentuk bulat termasuk perubahan menyeluruh karena hal itu sistem
yang dijadikan acuan berubah total mulai dari perhitungan dan seterusnya.
Perubahan dan perbedaan yang
terjadi dalam paradigma keilmuan geodesi terletak pada sistem acuannya, seperti
yang sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya.
Sistem acuan sangat banyak variasinya dibuat oleh pakar handal diseluruh
dunia yang didasari bentuk bumi. Mereka memodelkan bumi dengan berbagai
hitungan matematis yang berbeda hingga muncul apa yang dinamakan datum. Datum
tersebut sengaja mereka berbuat berbeda dikarenakan sesuai penggunaannya dank
arena juga wilayah bumi yang cukup luas sehingga cukup sulit untuk menemukan
referensi yang tunggal. Pelanggaran yang terjadi lebih banyak berkutat pada hal
kepresisian dan keakuratan data yang diperoleh dari berbagai alat, metode juga
acuan yang dipakai. Tetapi hal itu tidak berpengaruh terhadap konsep pengukuran
dan adapun aplikasinya sangat tergantung kebutuhan, jika yang dibutuhkan
ketelitiannya tinggi maka alat dan metode yang dibutuhkan adalah yang terkini,
tapi jika ketelitian yang dibutuhkan cukup kecil maka alat dan metode yang
digunakan pun cukup yang sudah ada sebelumnya.
Selanjutnya dalam real world (kondisi nyata), contoh dari
pelanggaran yang terjadi seperti akurasi, konsistensi, cakupan adalah paling
banyak dilakukan pada proyek-proyek infrastruktur atau pertambangan. Demi
mendapatkan keuntungan yang tinggi beberapa orang dan instansi seringkali
berbuat curang ketika melakukan pengukuran, misalnya pengukuran volume hasil
tambang yang dimanipulasi, ketebalan aspal tidak sesuai dengan yang sudah
direncanakan. Kecurangan tersebut meliputi permainan dalam akurasi, konsistensi
dan cakupan data.
Ir.Untung Raharjo, MT
(Dosen Teknik Geodesi Universitas Gadjah Mada) membenarkan hal tersebut. Beliau
juga menjelaskan bahwa sejak zaman dahulu ketika beliau kuliah hingga saat ini
tidak ada perubahan konsep perhitungan ilmu
geodesi yang signifikan. Ilmu dasar geodesi adalah ilmu ukur tanah yang konsep
pengukurannya sudah diketahui oleh semua akademisi yg belajar dibidang geodesi,
hanya saja perkembangan zaman berpengaruh pada kemajuan teknologi yang memacu
adanya perbaruan alat yang semakin canggih. Metode pengukuran yang saat ini
berkembang ke ranah extra-terristris pun dasarnya tetap menggunakan konsep yang
ada di ilmu ukur tanah hanya alatnya yang semakin canggih.
Sumber :
Anugrah
Yan.2009.”Sejarah Geodesi di Indonesia”. http://geodeticman.blogspot.com/2009/12/sejarah-geodesi-di-indonesia.html (dikutip, 4 Mei 2014)
Wawancara langsung dengan
Dosen Ir.Untung Raharjo, MT pada tanggal 30 April 2014